Romo Antonius Soetanta SJ: Musik Hadiah Tuhan

Keluarganya tak punya latar belakang musik. Ia sempat ditolak bermain organ. Tapi mendirikan paduan suara anak. “Ini hadiah Tuhan,” katanya.

2816KS-Foto Head c-W24RW24

Romo Antonius Soetanta SJ (HIDUP/Yanuari Marwanto)

JUMAT, dua pekan lalu, sekitar pukul 19.00, Romo Antonius Soetanta SJ keluar dari Pastoran. Ia mengayunkan langkah menuju aula Gereja St Servatius, Kampung Sawah, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Bangunan itu berada persis di belakang pastoran dan gereja.

Ia menyasar dua ruang yang berada paling ujung dari bangunan berlantai dua itu.
Pada malam itu, Romo Tanto, demikian sapaannya, melatih anak-anak Paroki Kampung Sawah, bermain organ. Kegiatan ini berlangsung tiap Jumat. Waktu latihan sudah molor setengah jam. Namun, belum ada satu anak pun yang terlihat batang hidungnya.

Sang gembala  menanti dengan sabar. Lima organ ia buka penutupnya. Tuts instrumen itu pun ia bersihkan, sekadar mengisi waktu. Dua jam sebelumnya, imam kelahiran Semarang, 23 Agustus 1938 menerima tamu di ruang tamu Pastoran. Pertemuan itu berlangsung hingga pukul 19.00.

Usai itu, ia bergegas ke aula, malam ini ia ada jadwal latihan organ bersama anak-anak. Makan malamnya ia tunda, agar murid-muridnya tak menunggunya. Sayang, justru sang guru yang menunggu murid-muridnya.. “Nanti saja makan bubur sama anak-anak. Bubur di depan (gereja, -Red) enak lho”, jawabnya, sambil mengacungkan jempol.

Pastoral Musik
Nama Romo Tanto di kalangan umat Katolik Indonesia, atau paling Tak di KAJ kerap dikaitkan dengan Paduan Suara Ascensio. Kelompok itu merupakan paduan suara anak-anak yang dibentuk oleh Romo Tanto, ketika menjadi Pastor Rekan Paroki St Fransiskus Xaverius, Tanjung Priok, Jakarta, pada 1978. Kini, 38 tahun sudah usia paduan suara itu.

Ascensio masih berdegup kencang hingga saat ini. Sang pendiri sekaligus itu guru pun masih giat melatih, menulis lagu dan membuat arransemen, mengorkestrasi, serta mengurus berbagai keperluan Ascensio. Imam yang pernah belajar Musik Gereja di Utrecht, Belanda (1973-1977) ini dalam sepekan tiga kali melatih Ascensio, yakni Selasa, pukul 17.00-22.00 untuk organ; Rabu, pukul 18.00-20.00, untuk koor; dan Sabtu, pukul 18.00-21.00, untuk koor.

Ide membentuk paduan suara anak terbetik saat ia kembali dari Negeri Kincir Angin. Ia merasa miris, paduan suara anak-anak di Tanah Air nyaris tak mendapat ‘panggung’ dan pembinaan yang serius di Jakarta. Ironisnya, kenyataan ini terjadi di dalam Gereja Katolik yang hampir setiap hari ada latihan paduan suara atau kor.

Imam yang banyak menciptakan lagu Misa untuk Puji Syukur dan Madah Bakti ini membandingkan sewaktu masih di Belanda.  Ketika di Negeri Kincir Angin, ia dan mahasiswa jurusannya justru dituntut mengajar di sekolah musik anak-anak, mulai dari sekolah dasar sampai menengah atas. Praktek mengajar itu menjadi tugas akhir kuliah mereka.

Tak hanya itu, Romo Tanto juga mengakui, Gereja Katolik belum terlalu greget mendorong umat menciptakan lagu rohani dan liturgi untuk anak-anak. Kian pelik, karya-karya lagu untuk anak yang mungkin sudah ada tak terkompilasi dengan baik. Beda dengan Protestan, mereka gencar membuat lagu-lagu untuk anak.

Sementara itu, karya para pencipta lagu pun ditampung dengan baik. Ia mencontohkan, 73 lagu anak-anak ciptaannya dibukukan oleh Yayasan Musik Gereja (Yamuger) –yayayan musik milik Protestan. Yamuger memberi judul buku lagu karyanya dengan “HO…HO…HO…HOSANA”.

Bagi Romo Tanto berkarya untuk anak-anak amat urgen dan vital. Mereka adalah penentu masa kini dan harapan masa depan. Selain itu, pendidik atau pelatih mudah menanam pengaruh atau hal positif kepada anak-anak. Karena itu melalui musik, Romo Tanto, berpastoral kepada anak didiknya. Tujuan utamanya, membentuk watak kristiani, lalu mengasah kemampuan musik mereka.

Ia mengawali kegiatan dengan Pendalaman Iman, setelah itu baru latihan kor atau organ. Metode pastoral itu ia terapkan di semua tempat latihannya, seperti: St Fransiskus Xaverius Tanjung Priok, St Maria Diangkat ke Surga Katedral Jakarta, dan Robertus Bellarminus Cililitan. “Musik hanya sebagai wadah saja. Saya merasul melalui musik, karena serikat menyekolahkan saya di bidang musik. Tapi ingat, saya bukan musikus! Saya Yesuit  yang menjadi imam dan berkarya melalui musik”, katanya dengan mantap.

Tantangan Uskup
Pada zaman sekarang segala sesuatu diukur dengan uang. Ibaratnya, tak ada makan siang yang gratis. Orang ingin ini-itu harus mengeluarkan duit. Termasuk orangtua yang ingin anaknya bisa bernyanyi atau bermain musik  kudu mengeluarkan fulus. Di kota besar seperti Jakarta, di mana sekolah atau guru musik yang berani menggratiskan siswanya?

Bila hal itu ada berarti sebuah kelangkaan. Hal yang tak biasa itulah yang ada di dalam diri Romo Tanto. Hampir berusia pancawindu kelompok Paduan Suara Ascensio, ia sama sekali tak pernah memungut bayaran kepada orangtua murid. Lagi pula, Romo Tanto juga tak mau dibayar. Menurut ia, jika pasang tarif maka yang sanggup membayarnya adalah orang-orang yang mampu. “Lantas, bagaimana dengan nasib anak-anak yang kurang mampu?|”, tanyanya.

Pilihan dan keberanian Romo Tanto menggratiskan seluruh muridnya, sempat mendapat tantangan dari Uskup Agung Jakarta waktu itu, Mgr Leo Soekoto SJ (1920-1995). Kata Mgr Leo, paduan suaranya tak akan bertahan lama jika terus seperti itu. Bila mau kelompoknya bernapas panjang, kata sang uskup seperi ditirukan Romo Tanto, ia harus membentuk sebuah lembaga atau sekolah musik.

Saran Mgr Leo tak diikutinya sampai sekarang. Tapi kelompok Paduan Suara Ascensio masih bisa bertahan hingga kini, bahkan dua tahun mendatang bakal berusia pancawindu. “Saya tak mau membuat lembaga seperti itu. Nanti kita dituntut terus mencari uang agar lembaga bisa berjalan, lalu lupa tugas utama kita yakni mengajar,” ujarnya, beralasan.

Tak hanya menggratiskan muridnya, Romo Tanto juga tak sungkan mulung organ ke berbagai Paroki. Organ-organ Paroki yang rusak, terbengkalai, dan tak dipakai lagi, ia kumpulkan. Bila sedikit yang rusak, ia perbaiki. Tapi jika kerusakannya rumit, ia panggil teknisi. Biaya perbaikan organ dari uang pribadinya.

Organ-organ yang telah diperbaiki, dipakai para murid Romo Tanto untuk latihan. Bahkan, Romo Tanto tak sungkan memberikan organ kepada muridnya yang lulus latihan musik dengannya. Lulus dalam penilaian Romo Tanto adalah jika muridnya mampu menjadi pengiring lagu untuk umat di Gereja. Karena itu, selama memberikan latihan, Romo Tanto selalu memprioritaskan musik gereja bagi muridnya. Muaranya jelas, Romo Tanto ingin muridnya giat melayani gereja.

Ia mengakui dengan jujur, ada orangtua murid yang memberikan uang kepadanya. Ia terima. Ada juga orangtua murid yang ikhlas mencari dan membayarkan supir untuk Romo Tanto. Sebab, Romo Tanto pergi untuk melatih ke mana pun selalu membawa kendaraannya sendiri. Inilah yang membuat hati orangtua murid terenyuh kepadanya. Meski pun Romo Tanto mengakui, ia masih bisa dan berani bawa motor atau mobil sendiri.

Usia senja seakan tak membatasi Romo Tanto untuk menyelam dalam samudera kegiatan. Bahkan kerentaan juga tak menciutkan nyalinya untuk mengendarai kendaraan sendiri.

Di luar jadwal latihan di Paroki Tanjung Priok, Katedral Jakarta, dan Cililitan, imam yang ditahbiskan di Yogyakarta, pada 1972 oleh Uskup Agung Semarang, Kardinal Justinus Darmojuwono (1914-1994) masih memiliki seabrek rutinitas, antara lain mengajar di Institut Kesenian Jakarta dan anggota dewan pengawas Yamuger.

Meski begitu, ia selalu menyempatkan waktu berkomunikasi dengan umatnya. Ignatius dan Teguh, satuan petugas keamanan Gereja St Servatius mengungkapkan, Romo Tanto hampir setiap hari mau nongkrong di pos. Mereka juga mengatakan, tiap usai Misa Harian dan Sabtu-Minggu, Romo Tanto berdiri di pintu gerbang gereja. Ia menyapa dan menyalami seluruh umat.

Hadiah Tuhan
Romo Tanto mengenang, sama sekali tak pernah menyangka jika karya kerasulannya hingga sekarang melalui musik. Ketika kecil, anak kedua dari 12 bersaudara itu tak pernah melihat orangtuanya, Engelbertha Sulaikah dan Petrus Sumardi bermain alat musik. Ia juga tak pernah mendengar ibu-bapanya itu bernyanyi.

Ia hanya mendengar orangtuanya yang berprofesi sebagai guru rengeng-rengeng saat memeriksa pekerjaan rumah para siswa. Ia juga tak pernah bermain alat musik saat bocah. Pengalaman pertamanya megang istrument saat masuk Seminari Kecil di  Mertoyudan, Jawa Tengah. Itu pun sempat menerima perlakuan tak enak dari gurunya. Ia tak bisa menjadi organis karena kalah pamor dari temannya, hanya karena orangtua temannya itu seorang organis. Demi bisa bermain organ, ia curi-curi waktu latihan.

Seiring waktu, banyak alat musik yang bisa ia mainkan. Ia juga dikuliahkan musik oleh serikatnya. “Saya merasa imamat saya dilengkapi. Ke-Yesuit-an saya juga dilengkapi. Berkat rahmat imamat, saya bisa merayakan Misa dan mewartakan Injil.  Sementara musik, adalah hadiah dari Tuhan,” pungkasnya.

Yanuari Marwanto

Pernah dimuat di Majalah HIDUP edisi 28, 2016

 

 

Pengen mengomentari?? Silahken, makasih